Pengecut
Cerpen: Monas Junior
Ketakutan. Tak
ada yang mampu mendeskripsikannya ke dalam bentuk atau susunan materi
apapun. Tidak seperti cat, tinta, atau bahan olahan lain yang berwujud
sesuatu ketika dibiarkan bercumbu dengan bidang kosong oleh pelukis.
Atau lirik-lirik lagu saat dinadakan penyanyi. Kata-kata bijak waktu
diucapkan seorang guru.
Juga penyebab ia muncul, tak bisa
dijelaskan secara logika. Barangkali karena ia salah satu anak dari
perasaan. Begini saja, bisakah anda menggambarkan asin itu bagaimana,
atau manis itu seperti apa? Tak bisa, kan. Jadi maaf jika saya menganggap
seenaknya ketakutan sebagai prototipe dari bentuk kelemahan. Dan kelemahan
itu seringkali muncul tersebab kesalahan yang meng-'hantu'-i. Bingung?
Sama.
Bagaimana kalau anda melihat ke
sana, ke balik lemari pakaian kamar sebuah rumah mewah. Sosok Dudun
tampak pucat dan menggigil. Matanya liar mencari-cari. Tubuhnya gelisah
sambil merapat satu sama lain, berkumul di balik lemari kayu hitam itu.
Keringatnya sudah dari tadi berlompatan dari pori-pori hingga membasahi
seluruh permukaan kaos birunya. Begitu juga celana pendek pada selangkangan,
seperti kecipratan cairan.
Diantara gigilan, lidah Dudun berlipatan
di balik bibir, melafalkan ayat-ayat pendek yang ia hafal agar ketakutan
itu melarikan diri. Tapi tak juga berhasil. Ketakutan itu malah bertambah
kentara saat bayangan hitam muncul seketika melalui pintu yang terkunci
rapat. Wajah Dudun semakin putih, kedua tangannya spontan menutup mata
dan lafalan tadi terdengar lebih lantang, dan bergetar.
Sementara bayangan berupa siluet
tak beratur itu semakin mendekat, lalu melayang-layang sekaki dari Dudun.
Tentulah Dudun tak melihat betapa bayangan hitam perlahan berubah menjadi
siluet wanita dengan kepala panjang, rambut panjang, kuku panjang, gigi
panjang, tangan panjang, jubah panjang, tanpa bentuk kaki. Kepala panjang
tersebut sudah benar-benar dekat dengan hidung Dudun, dan baru diketahuinya
saat ia menyuarakan nada yang berat dan serak.
''Kau tak bisa lari dariku, pengecut,
pembunuh!''
Tangan Dudun menyentak dari matanya,
lalu melotot takut melihat mahluk di hadapannya.
''Pergi!'' Tubuhnya merangkak cepat
ke bawah kolong ranjang.
''Kumohon, pergilah
'' Sekarang
suara Dudun menyerupai isakan.
Setelah beberapa menit dilalui
di bawah kolong ranjang tanpa gangguan siluet wanita mengerikan itu,
barulah Dudun keluar dari persembunyiannya. Kemudian berdiri memutar
mata takutnya ke segala arah.
Dan malampun terpaksa ia lewati
tanpa tidur. Tengah malam berikut, kejadian seperti kemarin menghajar
Dudun kembali. Kali ini lebih telak. Sebab mahluk siluet itu membawa
dua rekannya yang menyerupai lelaki dengan muka panjang, gigi panjang,
tangan panjang, jubah panjang, tanpa bentuk kaki. Mereka mengelilingi
tubuh Dudun yang berbaring kaku di atas ranjang.
''Pergi!'' Selimut ia selubungi
ke seluruh muka.
''Kau tak bisa lari dari kami
''
''Pengecut!''
''Pembunuh!'' Bergantian mereka
hardiki Dudun, hingga tulang lututnya seperti los dari sendi engsel.
''Jangan hantui aku lagi. Pergi,
pergilah kalian dari hidupku. Kumohon
''
''Kau telah membunuhku. Memisahkan
aku dengan anakku yang baru bisa telungkup! Kurang ajar!''
''Dan kau biarkan aku kehilangan
banyak darah, lalu nyawaku secara sadis. Padahal andai kau tahu, waktu
itu ialah awal kisah terindah yang pernah kualami sepanjang hidup.''
Cepat, tangan panjang siluet berujud
lelaki tersebut menarik selimut yang menutupi Dudun. Maka tampaklah
tubuh Dudun meringkuk kaku, sementara matanya memejam.
''Hari itu aku baru saja diterima
sebagai menantu pada keluarga bermartabat! Dan kau, kaulah penyebab
kebahagiaanku menangis!'' Kepala Dudun menggeleng patah-patah. Mata
tetap terpejam.
Dengan memaksa diri dia berkata;
''Kalian salah, kalian keliru besar.'' Tiga siluet tadi melayang berkeliling
di atas tubuh Dudun.
''Tidak, kaulah pembunuh itu.''
''Bukan aku. Sumpah. Bukan aku!''
Serentak mereka berhenti melayang,
lalu diam sambil merendahkan terbangnya. Sampai-sampai separuh tubuh
ketiganya di bawah ranjang, dan separuh lagi menyembul pada dada Dudun.
Dan itu membuat persediaan air di tubuh Dudun terkuras melalui beberapa
lobang.
Untuk sesaat, kamar lengang. Ketiga
mahluk tadi bersitatap, seperti mencari kesepakatan mereka mengangguk-angguk
bisu, lalu kembali menancapkan mata merahnya ke wajah Dudun.
''Tetap saja, kaulah pembunuh itu.
Mungkin bukan langsung lewat tanganmu, tetapi ketidakmampuan kau mencegah
mereka, itu yang malah membuat nyawa kami terlewatkan!'' Serentak ketiga
siluet itu bersuara.
''Aku tidak menyuruh mereka.''
''Iya, tapi kau juga tidak menahan
mereka! Tindakan bar-bar para biadab itu!'' ''Aku sudah berniat, tapi
''
''Tapi kau terlalu pengecut!''
Kemudian ketiga mahluk siluet tersebut murka.
Dengan kuku-kukunya yang panjang,
dicabiknya satu persatu kulit Dudun, dicongkelnya kedua mata, kedua
biji zakarnya, dicabutnya ke dua puluh jarinya, dan matilah Dudun dalam
kegenasan. Tanpa gaduh, tanpa saksi, tanpa sisa darah, tanpa kehormatan.
Siang esoknya tubuh Dudun ditemukan
keempat pembantunya. Kemudian dibantu seorang ustad yang kebetulan tetangga
sebelah rumah di pemakaman umum. Setelah selesai mereka kebingungan
tersebab belum memesan nisan. Karena ingin cepat selesai, seorang pembantu
mencabut satu nisan tua di kuburan yang sudah tak bergunduk lagi, lalu
menorehkan arang di bawah nama nisan sebelumnya, DUDUN Lahir
Wafat
Maret 2003. Tanpa peduli pada nama yang tertera di atasnya; PBB.***
Jambi, April 2003