"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Filosofis:
"Hidup adalah rentetan kenangan yang alpa. "
(Gazali Burhan Riodja--Alm. Sastrawan Jambi seangkatan Chairil Anwar)

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat

Tahun 2004
- Cyberlovetika

My Book


Pengecut

Cerpen: Monas Junior

      Ketakutan. Tak ada yang mampu mendeskripsikannya ke dalam bentuk atau susunan materi apapun. Tidak seperti cat, tinta, atau bahan olahan lain yang berwujud sesuatu ketika dibiarkan bercumbu dengan bidang kosong oleh pelukis. Atau lirik-lirik lagu saat dinadakan penyanyi. Kata-kata bijak waktu diucapkan seorang guru.
       Juga penyebab ia muncul, tak bisa dijelaskan secara logika. Barangkali karena ia salah satu anak dari perasaan. Begini saja, bisakah anda menggambarkan asin itu bagaimana, atau manis itu seperti apa? Tak bisa, kan. Jadi maaf jika saya menganggap seenaknya ketakutan sebagai prototipe dari bentuk kelemahan. Dan kelemahan itu seringkali muncul tersebab kesalahan yang meng-'hantu'-i. Bingung? Sama.
       Bagaimana kalau anda melihat ke sana, ke balik lemari pakaian kamar sebuah rumah mewah. Sosok Dudun tampak pucat dan menggigil. Matanya liar mencari-cari. Tubuhnya gelisah sambil merapat satu sama lain, berkumul di balik lemari kayu hitam itu. Keringatnya sudah dari tadi berlompatan dari pori-pori hingga membasahi seluruh permukaan kaos birunya. Begitu juga celana pendek pada selangkangan, seperti kecipratan cairan.
       Diantara gigilan, lidah Dudun berlipatan di balik bibir, melafalkan ayat-ayat pendek yang ia hafal agar ketakutan itu melarikan diri. Tapi tak juga berhasil. Ketakutan itu malah bertambah kentara saat bayangan hitam muncul seketika melalui pintu yang terkunci rapat. Wajah Dudun semakin putih, kedua tangannya spontan menutup mata dan lafalan tadi terdengar lebih lantang, dan bergetar.
       Sementara bayangan berupa siluet tak beratur itu semakin mendekat, lalu melayang-layang sekaki dari Dudun. Tentulah Dudun tak melihat betapa bayangan hitam perlahan berubah menjadi siluet wanita dengan kepala panjang, rambut panjang, kuku panjang, gigi panjang, tangan panjang, jubah panjang, tanpa bentuk kaki. Kepala panjang tersebut sudah benar-benar dekat dengan hidung Dudun, dan baru diketahuinya saat ia menyuarakan nada yang berat dan serak.
       ''Kau tak bisa lari dariku, pengecut, pembunuh!''
       Tangan Dudun menyentak dari matanya, lalu melotot takut melihat mahluk di hadapannya.
       ''Pergi!'' Tubuhnya merangkak cepat ke bawah kolong ranjang.
       ''Kumohon, pergilah…'' Sekarang suara Dudun menyerupai isakan.
       Setelah beberapa menit dilalui di bawah kolong ranjang tanpa gangguan siluet wanita mengerikan itu, barulah Dudun keluar dari persembunyiannya. Kemudian berdiri memutar mata takutnya ke segala arah.
       Dan malampun terpaksa ia lewati tanpa tidur. Tengah malam berikut, kejadian seperti kemarin menghajar Dudun kembali. Kali ini lebih telak. Sebab mahluk siluet itu membawa dua rekannya yang menyerupai lelaki dengan muka panjang, gigi panjang, tangan panjang, jubah panjang, tanpa bentuk kaki. Mereka mengelilingi tubuh Dudun yang berbaring kaku di atas ranjang.
       ''Pergi!'' Selimut ia selubungi ke seluruh muka.
       ''Kau tak bisa lari dari kami…''
       ''Pengecut!''
       ''Pembunuh!'' Bergantian mereka hardiki Dudun, hingga tulang lututnya seperti los dari sendi engsel.
       ''Jangan hantui aku lagi. Pergi, pergilah kalian dari hidupku. Kumohon…''
       ''Kau telah membunuhku. Memisahkan aku dengan anakku yang baru bisa telungkup! Kurang ajar!''
       ''Dan kau biarkan aku kehilangan banyak darah, lalu nyawaku secara sadis. Padahal andai kau tahu, waktu itu ialah awal kisah terindah yang pernah kualami sepanjang hidup.''
       Cepat, tangan panjang siluet berujud lelaki tersebut menarik selimut yang menutupi Dudun. Maka tampaklah tubuh Dudun meringkuk kaku, sementara matanya memejam.
       ''Hari itu aku baru saja diterima sebagai menantu pada keluarga bermartabat! Dan kau, kaulah penyebab kebahagiaanku menangis!'' Kepala Dudun menggeleng patah-patah. Mata tetap terpejam.
       Dengan memaksa diri dia berkata; ''Kalian salah, kalian keliru besar.'' Tiga siluet tadi melayang berkeliling di atas tubuh Dudun.
       ''Tidak, kaulah pembunuh itu.''
       ''Bukan aku. Sumpah. Bukan aku!''
       Serentak mereka berhenti melayang, lalu diam sambil merendahkan terbangnya. Sampai-sampai separuh tubuh ketiganya di bawah ranjang, dan separuh lagi menyembul pada dada Dudun. Dan itu membuat persediaan air di tubuh Dudun terkuras melalui beberapa lobang.
       Untuk sesaat, kamar lengang. Ketiga mahluk tadi bersitatap, seperti mencari kesepakatan mereka mengangguk-angguk bisu, lalu kembali menancapkan mata merahnya ke wajah Dudun.
       ''Tetap saja, kaulah pembunuh itu. Mungkin bukan langsung lewat tanganmu, tetapi ketidakmampuan kau mencegah mereka, itu yang malah membuat nyawa kami terlewatkan!'' Serentak ketiga siluet itu bersuara.
       ''Aku tidak menyuruh mereka.''
       ''Iya, tapi kau juga tidak menahan mereka! Tindakan bar-bar para biadab itu!'' ''Aku sudah berniat, tapi…''
       ''Tapi kau terlalu pengecut!'' Kemudian ketiga mahluk siluet tersebut murka.
       Dengan kuku-kukunya yang panjang, dicabiknya satu persatu kulit Dudun, dicongkelnya kedua mata, kedua biji zakarnya, dicabutnya ke dua puluh jarinya, dan matilah Dudun dalam kegenasan. Tanpa gaduh, tanpa saksi, tanpa sisa darah, tanpa kehormatan.
       Siang esoknya tubuh Dudun ditemukan keempat pembantunya. Kemudian dibantu seorang ustad yang kebetulan tetangga sebelah rumah di pemakaman umum. Setelah selesai mereka kebingungan tersebab belum memesan nisan. Karena ingin cepat selesai, seorang pembantu mencabut satu nisan tua di kuburan yang sudah tak bergunduk lagi, lalu menorehkan arang di bawah nama nisan sebelumnya, DUDUN Lahir… Wafat Maret 2003. Tanpa peduli pada nama yang tertera di atasnya; PBB.***

Jambi, April 2003