"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Para Pendusta

Cerpen: Monas Junior

      Pukul 12 tepat. Ponsel di saku celana Adam menghardik-hardik di antara hardikan orang-orang dan keluh kesah klien di ruangan sebuah kantor lembaga bantuan hukum terkenal Kota Jambi.
       ''Manto?'' bisiknya setelah memandang sesaat ke ponsel di genggamannya.
       Sementara ruangan bertambah sesak. Klien-klien berulang kali keluar masuk membawa bungkusan-bungkusan yang entah apa isinya. Dan para pengacara, rekan-rekan Adam itu, tampak sekali melayani mereka dengan kegembiraan dibuat-buat.
       Adam telah menyisih ke bilik toilet pria. Barulah ketenangan itu hadir, meski sayup-sayup riuh rendah di luar masih betah mengejarnya.
       ''Ada apa, To?''
       ''Ini emergency! Ini situasi gawat, Dam. Aku butuh kau sekarang.''
       Tak ada reaksi berlebihan pada Adam. Lelaki tampan berkemeja putih dengan hiasan dasi hitam bergaris coklat panjang yang serasi disandingkan celana hitam itu, cuma terdiam kaku.
       Detik kemudian ia telah menerima lokasi Anto menunggu. ''Kuberi waktu 10 menit, cepatlah kemari, sobat…''
       Anto memohon. Lalu… klik. Hubungan terputus. Adam kembali tercenung, kali ini disertai kecemasan.
       Tergesa-gesa ia keluar toilet, menghampiri meja kerjanya lalu menyambar koper hitam kecil di dalam laci dan berlalu tanpa pesan sedikitpun kepada rekan-rekannya yang memang tak peduli itu.
       ***
       Terrano yang dikendarai Adam merayap cepat di punggung Jalan Pattimura, meninggalkan jejak garis panjang di aspal bekas hujan dua jam lalu. Di balik setir, Adam masih menyusun kemungkinan demi kemungkinan apa yang terjadi pada Manto, pengusaha sawit yang ia kenal setahun lalu pada sebuah kasus sengketa tanah.
       Hampir semua lahan karet yang dulu pernah menjadi primadona devisa daerah Jambi dan Indonesia, kini telah menjelma dalam rupa perkebunan sawit. Berhektar-hektar bahkan. Investornya juga bukan saja dari domestik, pengusaha-pengusaha asing seperti Malaysia, Singapura, Jepang, menyempatkan diri ke Jambi meski beberapa hari guna penanaman modal, atau membuka lahan sawit baru. Jadi wajar saja jika terjadi persengketaan tanah di mana-mana. Pribumi sebagai pemilik tanah melawan pihak pengusaha sebagai penguasa ekonomi. Tentu saja pemenangnya bisa ditebak.
       Persis sama dengan kasus yang mendera Manto. Pria 33 tahun yang punya kolega hampir di seluruh negara Asia. Ia cakap, bijak, cerdas, ramah, tenang dan tentu saja punya talenta bisnis sangat kuat. Bahkan sengketa lahan rakyat di wilayah Sungai Duren (sebuah desa kecil sekitar 25 kilo dari Jambi), lelaki itu tetap berjaya dengan karakternya. Dan ketenangan itu pulalah yang menyebabkan kasus sengketa itu bisa berakhir damai se damai-damainya. Hingga kerjanya sebagai pendamping pihak pertama-Manto cs- terasa amat ringan.
       Sejak itu Adam membiarkan Manto mengambil sebagian kepercayaan dan kegilaannya, dan memberi nama 'persahabatan' pada hubungan mereka. Sudah banyak kenangan mereka tuliskan di buku Pinang Masak ini.
       Selama itu tak pernah secuil kejutanpun ia terima dari Manto. Karena ia benar-benar memahami wataknya. Sosok Manto ialah sosok yang empiris. Apa-apa teratur. Mengenai urusan-urusan kecil hingga penting, telah ia struktur secara tegas di schedule task-nya. Dan Mamai, sekretaris sekaligus isterinya mendukung penuh ia melakoni empirisme itu. Tapi tetap saja, Manto seorang lelaki. Lelaki itu ibarat burung yang mempunyai kepak panjang. Ketika harus terbang, tak ada sesuatu yang bisa menahannya, tidak juga isteri, pekerjaan, tanggungjawab atau apapun!
       Setahun itu pula mereka melakoni dugem se jadi-jadinya. Bahkan hampir tiap malam seluruh kafe-kafe di kota ini telah dijejaki kaki mereka. Dan gadis-gadis penyemarak malam itu, ah, tak ada yang tak kenal kedua lelaki penting tersebut. Bahkan tak jarang Manto sang pengusaha sukses itu mengajak serombongan rekan-rekan bisnis atau berkepentingan dengan bisnisnya menyemangati malam menjelang pagi. Mulai dari pejabat pemerintah, aparat keamanan, sampai beberapa wartawan media daerah juga pernah ia ajak serta. Di sisi Adam, ia senang tiap malam bertambah kenalan.
       Nah, telepon dari Manto tadilah yang sekarang menggoyang-goyangkan penasaran Adam. Sampai Jalan Baru Kelurahan Broni telah dilalui ia dan Terrano-nya, masih saja belum ada selintas asumsi pun ia dapatkan.
       ''Apa yang menimpa Manto?'' desah Adam berat. Barulah saat mobil diparkir di muka Restoran Batanghari, ketika mengunci pintunya, ia teringat akan isteri Manto yang hamil memasuki bulan ke sembilan. Apakah? Ya, setidaknya asumsi ini membuat goyangan penasaran Adam berkurang. Lalu dengan santai ia memasuki pintu kayu berukiran khas Jambi, mendapati Manto yang telah berdiri menyambut kedatangannya.
       ''Syukurlah kau datang juga, Dam. Duduklah,'' pria tambun dengan mata sipit menyambut Adam. Kemudian Adam menarik kursi di seberang meja Manto, maka terbenamlah ia ditelan taplak meja yang panjang hingga menyentuh lantai kayu itu.
       ''Ada apa, sobat?'' ''Gawat, Dam. Sungguh gawat.'' Manto, tubuhnya gelisah sekali. Kadang-kadang keringat cemasnya berjatuhan di atas plastik pembungkus taplak meja yang berwarna biru laut.
       ''Mamai… Mamai di DKT, Dam. Dia…''
       ''Sudah waktunya?'' Adam memangkas. ''Ya. Aku takut. Aku cemas…'' Terukir senyum bijak di bibir Adam. Ia berdiri mendekati rekannya yang gemuk itu, lalu mengurut-ngurut punggungnya dengan pelan.
       ''Tak perlu takut, sobat. Juga tak perlu cemas. Sebentar lagi kau jadi Bapak, bukankah hal itu sepantasnya menggembirakan?''
       ''Kau bicara apa!'' Manto menghardik, menepis tangan Adam. Kemudian berjalan cepat ke jendela yang menghadap Danau Sipin di belakang restoran. Adam menyusul, dan berdiri di samping Manto yang tengah menghanyutkan mata di kehijauan air danau. ''Ini semua salah Mamai…''
       Manto menarik nafas berat. Lalu menghembuskannya juga dengan berat. Sementara Adam membiasakan diri untuk diam.
       ''Sudah berulangkali kuperingatkan dia; 'jangan lupa makan pil itu, makan pil itu…' tapi Mamai malah sengaja tidak memakannya. Dan membiarkan dirinya hamil.''
       Rungutan Manto makin panjang. Demikian juga Adam di sampingnya. Namun kebingungan Adam-lah yang lebih panjang, bingung melihat reaksi rekan akrabnya menghadapi kelahiran seorang anak. ''Semestinya kau bersyukur. Karena Mamai, sebentar lagi kau akan punya bocah lucu, pasti cerdas pula seperti ayahnya.''
       ''Kau tak tahu apa-apa, Dam!'' Mata merah Manto menghajar Adam dengan telak. Sesaat mereka berpandangan, dan Adamlah pecundang itu. Ia jengah lalu membuang tatap ke Danau Sipin yang asyik mempermainkan biduk nelayan.
       ''Aku tidak menginginkan anak! Seperti aku tidak menginginkan manusia-manusia meneruskan keturunannya! Melanjutkan tradisi-tradisi gila mereka! Karena pada dasarnya semua manusia itu bedebah!'' Adam terlonjak keras. Ia terbakar seketika mendengar celoteh Manto yang masih menusuk bola mata ke arahnya.
       ''Ketahuilah, To. Sekarang aku bertambah tak mengenali kau. Bicaramu menjurus kegilaan…''
       ''Karena kau tak tahu.''
       ''Baiklah, beritahu aku yang kau tahu.'' Adam menangkis hujaman tatap Manto. Mereka sama-sama terbakar. Yang satu karena keyakinannya, yang satu lagi tersebab kebingungannya. Matahari di atas perut Batanghari pun ikut memanasi mereka.
       ''Manusia itu adalah pendusta! Sejak ia pandai bicara sampai menjelang kematiannya, tak ada sesuatu yang berlebih kecuali kebohongan-kebohongan yang ia perbuat. Munafik, Dam. Munafik! Itulah kita! Dan aku tak ingin punya generasi-generasi yang munafik sebab sekarang saja dunia telah lelah akibat ulah para pendusta, yang dengan bangganya menyebut dirinya manusia. Aku telah banyak melihat fenomena itu, Dam. Mulai dari si kecil yang baru pandai berjalan, ia telah menipu orang tuanya dengan kemanjaan dibuat-buat, lalu orang tua yang senang hati itu membeli apa saja kemauan si kecil. Besar sedikit, banyak kawan ia, oh, Dam. Ia akan berdusta dengan sok perhatiannya; 'Ma, Pa, mau kemana?' 'Ke pasar, sayang. Tunggu rumah, ya…' 'Iya, belikan es walls ya, Ma…' 'Iya, sayang'. Setelah sendiri, ia menelpon teman-temannya untuk datang ke rumah, lalu banyak kenakalan ia dan rekan-rekannya perbuat. Main Sega-lah, Tamiya-lah, lain-lain-lah, hingga nonton film porno simpanan orang tuanya! Bedebah, kan! Bertambah terus usianya, bertambah lipat kedustaan mereka. Karena kebohongan itu seusia manusia, bahkan lebih tua. Ia telah tertata di alam kosmos ini melalui berbagai retorika. Dan ia adalah fatamorgana abadi. Selagi bumi ini masih berputar di orbitnya, semasa itu pulalah kebohongan berpendar-pendar, mengikuti generasi ke generasi tanpa bisa dicegah. Bahkan pedang-pedang bernama pendidikan --ya akhlak, ya intelektual--, politik, olahraga, perang, hingga seni pun tak bisa membunuhnya. Sulit sekali mencari kejujuran di planet bumi ini, Dam. Dalam artian sejujur-jujurnya air bening, tanpa limbah zat-zat adiktif. Mungkin hanya orang gila saja yang tidak punya kedustaan. Ah, tidak. Orang gila sekarang telah pintar berdusta juga. Coba kau ke Mayangsari (taman di jantung pasar Kota Jambi, sekarang telah menjadi lahan parkir), orang-orang berbaju kumal dengan tingkah asal seruduk itu akan sumringah senang ketika diberi 20 ribu. Jika kau mau susah-susah, ikutilah ia, pasti ia akan ke toko terdekat membeli rokok dan sebungkus nasi. Nah! Sekarang kau sudah tahu betapa resahnya aku menunggu kelahiran putraku, yang kelak akan menjadi pendusta juga. Mungkin ia lebih lihai dari aku, kau, atau manusia-manusia sebelum kita.''
       Monolog panjang Manto terputus ketika ponsel di saku bajunya bernyanyi. Sementara Adam, saraf sadarnya agak terganggu hingga mulut menganga saja yang bisa ia pertontonkan.
       ''Apa? Mamai bagaimana? Ah, syukurlah. Baik, aku segera ke sana!'' Manto melipat erricson-nya dan mengembalikan ke sakunya. Lalu ditatapnya Adam yang masih dengan reaksi seperti tadi, melongo.
       ''Putraku tak bisa diselamatkan, tapi Mamai baik-baik saja. Dan sekarang aku mau ke DKT, kau ikut?'' Wajah Manto sedikit bersinar, mata sipitnya tak lagi sepanas beberapa menit lalu.
       Tanpa menjawab Adam berlalu dari muka Manto menuju Terrano-nya. Kemudian ia telah meninggalkan deru kencang yang menampar telinga Manto.
       ***
       Pukul 14.00 WIB. Adam melongsorkan tubuh di sofa ruang tamu. Pikirannya mengembara ke sisi-sisi kalimat demi kalimat yang telah diucapkan Manto beberapa jam lalu. Nafasnya demikian berat untuk berganti oksigen, sementara suasana rumah yang sepi benar-benar menyudutkan ketenangannya.
       Untunglah tak berapa lama bel memanggil, dan ia menyambut Titi sang isteri tercinta dengan gembira. Bahkan Titi terheran-heran mendapat pelukan erat Adam. ''Abang kenapa?''
       Dielusnya rambut pendek tumpuan cintanya dengan lembut. Mata Adam demikian redup, dan Titi segera tahu sesuatu yang buruk telah menimpa suaminya. Karena itu dibimbingnya sang sang suami ke sofa.
Lalu ia bergegas ke dapur untuk membuatkan Adam minuman. Tetapi Titi terhenti tersebab Adam telah mencengkeram lengannya.
       ''Adek jadi ke dokter?'' Mata Adam begitu aneh di perhatian Titi. Namun tak bisa mengurangi kegembiraan yang ditimbulkan pertanyaan suaminya barusan.
       ''Jadi. Abang mau tahu hasilnya?'' Titi benar-benar lupa menutup-nutupi luapan kebahagiaannya. Hingga berlapis-lapis senyum terhampar begitu saja. Dan Adam bukanlah orang bodoh. Tak perlu jawaban lebih lanjut.
       ''Gugurkan!'' seru Adam tiba-tiba. Dada Titi bergeletar hebat, lalu geletar itu membuat ia sesak dan, pingsan.***

Pinang Masak, Maret 2003