"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Huek!

Cerpen: Monas Junior

      Huek! Huek! Huek!
      ''Begitu, Mas!'' Tia, gadis usia 17 itu merutuk-rutuk, tapi bibirnya masih sibuk mengunyah coklat pemberian pamannya yang kini tengah mengerutkan kening, sambil menatapnya.
      ''Setiap kali kau menanyakannya?''
      ''Setiap kali.''
      ''Seberapa waktu?''
      ''Tak terhitung, lah.'' Cokelat itu telah bersisa bungkus kertas mengkilat saja di tangannya. Kemudian larut dibawa air selokan trotoar.
      ''Mereka mual?''
      ''Iya, kan sudah Tia bilang. Bahkan sampai, huek! Huek! Huek! Begitu, Mas.''
      Giman menggeleng tak mengerti, wajahnya meringis, lusuh sekali. ''Ah, kau saja yang salah waktu ketika membicarakan… mmm sebentar. Memangnya, akan hal apa yang Tia bicarakan pada mereka. Sampai mereka muntah-muntah begitu?''
      Balik Tia yang meringis. Kemudian bibirnya maju beberapa senti. ''Mas ini. Tia pikir sudah ngerti persoalan, eh rupanya tidak. Sudahlah, Tia pulang saja.''
      Sekilat saja tubuh putih abu-abu Tia menghilang, dan meninggalkan beban pertanyaan besar pada benak Giman, sampai di rumah pun tak kunjung berkurang beban itu.
      ''Bagaimana?''
      ''Apanya?''
      ''Loh, masalah yang kemarin.''
      ''Oo, masalah yang tak Mas paham itu.'' Giman gugup dengan sembrono. Wanti-wanti ia bendung kegugupan tersebut, namun gagal.
      ''Iya, Mas tak paham. Jadi tak ada salahnya kau beri pemahaman sedikit buat Mas.''
      Paman-Mas, hanya sekedar panggilan saja buat Giman. Apalagi dipandang masih muda oleh orang-orang muda, itu melahirkan kebahagiaan tersendiri buatnya.
      ''Entahlah, Mas. Pokoknya bagi mereka, topik yang biasa kuangkat pada setiap kesempatan itu, benar-benar tak pantas lagi buat mereka. Bahkan mereka telah bersikap antipatif terhadap persoalan itu.''
      ''Iya, sayang. Persoalan itu, persoalan apa? Topik apa? Pertanyaan mengenai apa? Kau bicara kabur saja, bagaimana Mas bisa memberi masukan.''
      Tia membuka bungkus cokelat. Lalu berdecak-decak bibirnya mencecap cokelat manis pemberian Giman.
      ''Cinta.''
      ''Ha?''
      ''Persoalan cinta.''
      Jleg! Hati Giman terpukul telak. Apalagi melihat Tia tanpa malu-malu mengutarakan itu terhadap ia. Seolah-olah cinta itu adalah cokelat yang manisnya biasa-biasa saja ketika dikunyah.
      ''Tiap kali aku bicara soal cinta, Mama muntah, Papa ikutan muntah. Huek! Huek! Huek! Begitu, Mas,'' ucap Tia diantara decapan bibirnya.
      Sementara Giman, setengah termenung ia berkata samar; ''Mungkin mereka terlalu sibuk akan rutinitas dan tanggungjawab, hingga tak sempat membicarakan hal itu.''
      ''Loh. Bukankah cinta itu untuk segala usia. Bukan saja konsumsi anak-anak atau remaja, atau dewasa yang belum menikah, Mas. Bukankah demikian?''
      ''Kali ini, Mas kira kau benar, sayang.'' Tia menganggung-angguk senang atas keberpihakan Giman terhadapnya.
      Tapi ia protes keras tatkala tiba-tiba Giman menyentakkan tubuhnya dan melangkah pergi tanpa suara. ''Loh, Mas. Mau kemana?''
      Giman menoleh sebentar; ''Pulang,'' ujarnya ringan. 'Aku rindu isteriku,' sambung hatinya.***

Jambi, Mei 2003