"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Sampan
Sketsa : Monas Junior

      Masih kudayung sampanku dari Sipin ke Angso Duo diantara lembayung senja dan guraun ikan patin. Sesekali Batanghari beriak-riak kegelian menyambut geletikan dayungku, dan aku dengar tawa mereka menimpali laju sampan kecil tempat aku betengger ini. Ditambah senyum simpul angin, malu-malu ia mempermainkan rambut ikalku.
      Dalam perjalanan Sipin-Angsoduo ini aku mendapatkan kedamaian hakiki. Sebuah perjalanan indah tak terkira. Dan jujur saja, dari sekian kegiatan hanya berdayung sampan beginilah yang paling aku gemari. Entah sudah berapa lama aku menghabiskan waktu dengan ikan patin dan rekan-rekannya, juga kegenitan angin serta senyuman simpul senja di atas sungai Batanghari.
      Tatkala itu, kemana mata memandang yang tampak hanya dataran beriak tersedia dengan segala pernak-pernik kesuciannya. Meski agak keruh sedikit, tapi tak menutupi kesan kemayu sebuah alam. Batanghari tetap permaisuri dihatiku, mahkota terindah yang dimiliki propinsi Jambi.
      Kemudian sepuluh tahun kemudian, masih kudayung sampanku menyusuri Sipin-Angsoduo. Suasananya nyaris sama seperti dahulu. Batanghari masih bersedia menyambut canda dayungku, ikan patin tetap saja menimpali ajakan sampanku untuk tertawa, dan senja juga dengan setia mewadahi perjalananku. Hanya saja sekarang, di atas perut Batanghari sudah tampak sebuah-dua kapal tongkang dengan beberapa ton kayu bulat di atasnya. Yang tanpa disengaja telah merubah sikap Batanghari terhadapku sore itu.
      Ia, Batanghari itu. Tawanya tidak lagi seceria waktu-waktu dulu. Ketika kami baru berkenalan. Dan aku menangkap kesedihan di balik geliat-geliatnya.
      Kali lain, terpaksa kugantung sampanku. Aku tak jadi menyusuri Sipin-Angsoduo seperti hari-hari kemarin. Sebab seluruh perut Batanghari telah dipenuhi tongkang-tongkang besar dengan ratusan ton kayu balok. Meski hanya memandanginya, aku menangkap jeritan pedih Batanghari menanggung beban tongkang-tongkang keparat itu. Tapi untuk menghalau mereka, aku sama sekali tak punya kekuatan. Ada yang lebih berkuasa dari sekedar kecintaan terhadap mereka; Batanghari, ikan patin, dan lembayung senja.***

Di gerbang Batanghari