"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara. |Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book

 


Demo Para Monyet

Cerpen : Monas Junior

      Awal 1930. Pengerjaan rel kereta api di daerah Afrika Barat baru saja dimulai. Hutan-hutan terpaksa meratapi kematiannya ketika chainsauw menebas habis akar-akar kehidupan mereka. Sepanjang ratusan kilometer terbentang jalan berbentuk goa menembus keperawanan hutan-hutan Afrika. Orang-orang negro di dalam satuan pekerja paksa itu terus saja mengalirkan keringat sedari pagi hingga malam, menembus sisa-sisa kesucian hutan.
      Untuk memenuhi kebutuhan perut, orang-orang negro jajahan Prancis itu berburu hewan hutan. Sayangnya, mereka hanya mendapatkan Simpanse untuk dijadikan santapan. Lalu sekian ekor simpanse terbenam di dalam lambung para pekerja paksa pria, wanita tanpa mereka sadari masa depan medis terancam oleh perbuatan mereka.
      Karena berpuluh tahun kemudian, tepatnya 1983. Ketika orang-orang pintar semakin bertebaran di wajah bumi, paramedis menemukan sebentuk Siman Imununodeficiancy Virus (SIV) pada tubuh hewan simpanse yang ketika terinsfeksi ke tubuh manusia menjadi Human Immuno Deficiancy Virus (HIV). Dan HIV ini tersebar sepanjang dunia melalui hubungan seks, transfusi darah, juga dari ibu hamil ke anak dalam kandungannya. Hingga HIV menjadi biang penyakit AIDS yang sampai detik ini belum ada penawarnya.
      Demikian isi jurnal Dr Beatrice Hahn dari University of Alabama, Brimingham - AS melaporkan tentang teori pertama kali infeksi HIV pada tubuh manusia. Untuk selanjutnya muncul lagi beberapa pendapat ahli mengenai proses penginfeksian pertama HIV yang mewarnai perdebatan panjang dunia medis.
      Namun diluar dari segala teoritis itu, sekelompok monyet berkumpul dalam sebuah laboratorium percobaan milik Prof. Juan, seorang ahli kimia. Monyet-monyet yang berjumlah lima puluh ekor lebih itu membentuk lingkaran rapat-rapat, satu sama lain duduk dengan membuat suara gaduh.
      ''Ngik! Ngik! Ngik!''
      Terjemahan Indonesianya barangkali; ''Habisi! Habisi! Habisi!'' teriak mereka sambil berlonjak-lonjak marah, bahkan beberapa di antaranya memukul-mukul lantai.
      Mungkin sudah sepuluh menit mereka begitu, sampai akhirnya seekor monyet berdiri di tengah lingkaran dan menghardik, ''Ngik, ngik, ngik! Ngik ngik-ngik. Ngik ngik ngik...'' (Perlu disadari, bahasa monyet untuk zaman sekarang belum begitu mendunia seperti bahasa Inggris. Jadi supaya pembaca tidak repot, sebaiknya diterjemahkan langsung ke bahasa Indonesia.)
      ''Oke, oke, oke! Tenang saudara-saudara. Tenang, tenangkan diri kalian!'' Monyet cokelat bertubuh agak besar itu menengahi suasana. Dan usahanya berhasil. Suasana kembali hening, monyet-monyet yang tadi berkelakuan brutal telah duduk lagi di tempat mereka masing-masing tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Sampai-sampai dengungan ac di atas pintu terdengar mendayu-dayu dan anginnya berhembus lembut mempermainkan bulu-bulu mereka. Sementara semua mata terfokus pada seekor monyet yang berdiri mantap di tengah lingkaran.
      ''Ehm.'' Si monyet pusat perhatian itu berdehem. ''Saudara-saudara. Setelah sekian lama kita hanya diam, hanya menjadi pendengar yang baik, hanya dijadikan objek, sekaranglah saat yang tepat untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita bukan cuma mahluk observasi! Kita juga punya hak untuk hidup merdeka. Merdeka dalam artian tanpa tuduhan-tuduhan miring!''
      ''Kita sudah bosan dikatakan sebagai sumber penyakit. Biang penghancur peradaban atau apalagi yang tujuannya memojokkan pihak kita. Kaum monyet. Padahal kita sama sekali tidak melakukan apa-apa yang mereka tuduhkan itu. Sama sekali tidak. Kita hanya menjalankan kehidupan seperti apa tujuan hidup monyet; manjat, makan, kawin, tidur, kemudian mati.''
      ''Itu membuktikan bahwa kita sama sekali tidak mengganggu peradaban manusia. Mereka saja yang terlalu sombong mengakui kebodohannya. Contoh saja kasus penyakit AIDS, karena tidak menemukan obat penawarnya mereka lalu memberatkan pada infeksi pertama HIV sebagai perawalan penyakit tersebut. Kemudian timbullah teori-teori penginfeksian virus dari hewan ke manusia yang mereka namakan zoonosis. Hal itu memberatkan pihak kita, kaum monyet dan sejenisnya.''
      ''Selanjutnya mereka, manusia-manusia bodoh itu beramai-ramai menjadikan monyet sebagai objek penelitian. Kaum kita ditangkap, dikurung, dibius, dibedah, penutupnya dibiarkan saja bangkai-bangkai kita tergeletak dalam keranjang sampah! Lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir. Sebab itu kita protes! Karena itu kita butuh keadilan, sebagai layaknya mahluk hidup lain! Kita tidak mau diperlakukan sekejam itu!''
      Penutup orasi monyet besar itu ditingkahi tepuk tangan rekan-rekannya. Mereka bersorak-sorak, berjingkrak-jingkrak meneriakkan keadilan. ''Habisi! Habisi! Habisi semua manusia! Bunuh mereka!''
      Selanjutnya segerombolan monyet itu bergerak menuju pintu labor yang masih asyik dengan 'tapa diam'nya. Beramai-ramai mereka melempar bejana ukur ke arah pintu kaca hingga menimbulkan suara gaduh.
Pyar! Pyar! Pyar! Lalu pecahlah pintu labor itu. Mereka merangsek ke luar sambil meneriakkan yel-yel menakutkan tadi. ''Bunuh! Habisi! Bunuh saja!'' (Tentu dengan bahasa asli monyet.) ''Ngik! Ngik! Ngik ngik!''
      Sementara di ruangan lain, dua tubuh di bawah selimut tebal saling berpacu mengejar sesuatu. Mereka adalah Randa dan Ririn. Randa adalah putra sulung Prof. Juan, dan Ririn ialah pacar Randa. Mereka sama saja seperti sepasang anak muda sekarang. Menyatukan cinta dengan birahi.
Cinta ibarat semusim semi. Ketika datang musim itu, cinta bermekaran di kolong langit, menebar wangi bermacam aroma. Mawar, anggrek, lavender, melati, sedap malam, semua memancing belaian mata yang sedang merindu untuk menikmatinya. Namun ketika musim gugur tiba, bencana pun tiba.       Cinta tiba-tiba seperti seonggok daun yang mengotori perkarangan dan sudah harus ditempatkan ke kantong sampah. Maka, orang-orang akan beramai-ramai meninggalkan ia hanya karena cinta telah kehilangan aromanya.
      Kembali lagi pada segerombolan monyet yang dilanda marah. Dengan brutal mereka menghancurkan apa saja yang dekat dengan mereka seperti tv, meja kaca, bantal kursi, foto-foto yang terpajang di atas lemari, bahkan kaca lemari itu tak luput dari sasaran kemarahan mereka.
      Namun anehnya kegaduhan itu tidak mempengaruhi kegiatan dua anak manusia di dalam kamar dekat monyet cokelat besar berdiri. Masih terdengar erangan-erangan lirih keluar menyelusup dari lubang kunci hingga hinggap di telinga si monyet cokelat. Dan itu membuat ia tertarik untuk lebih merapatkan telinga ke lubang kunci.
      Ketika itu seekor monyet lain yang baru selesai memecahkan lampu meja tanpa sengaja melihat kelakuan si monyet besar. Ia memanggil rekan-rekannya agar mendekat, lalu berkumpullah puluhan monyet itu di tempat ia berdiri. Mereka memperhatikan si monyet besar yang sedang menguping dengan diganduli pertanyaan; ada apa?
      Pertanyaan mereka langsung dijawab gerakan mendekat monyet besar itu. Ia dengan tergopoh-gopoh mengambil posisi di depan rekan-rekannya, dan wajahnya mengeras!
      ''Mereka! Manusia-manusia itu bukan lagi manusia. Mereka lebih liar dari binatang. Prilaku mereka menakutkan binatang.'' Napas amarahnya satu-satu.       ''Si Randa. Kalian tahu Randa, kan! Mahasiswa bengal yang sering menyundut-nyundut tubuh kita dengan api rokok. Anak Si Juan itu?!''
Beberapa monyet terangguk-angguk.
      ''Ia sekarang sedang bergumul dengan pacar barunya. Gadis lain seperti gadis-gadis kemarin yang ia bawa ke kandang kita!''
Ngik! Ngik! Ngik! Riuh rendah monyet-monyet itu bersuara.
''Ia lebih bejat dari ayahnya Si Juan! Kita habisi dulu dia! Lalu Juan! Lalu profesor-profesor yang sering mampir ke sini itu. Lalu pemburu yang menangkap kita di hutan! Lalu semua manusia! Semua manusia! Bunuh mereka!!!''
      Kata-kata terakhir si monyet besar disambut teriakan-teriakan melengking keluar dari mulut rekan-rekan sebangsanya. Kemudian mereka dengan emosi bergerak dengan maksud mendobrak pintu kamar dimana Randa dan Ririn sedang bertarung antara hidup dan neraka.
      Tetapi tiba-tiba sebuah cahaya putih melayang menutup pintu kamar yang akan mereka dobrak. Itu membuat mereka terpaksa menahan langkah sambil memperhatikan cahaya putih yang diselimuti asap itu. Perlahan-lahan asap itu hilang dibawa angin, meninggalkan sesosok tubuh seukuran manusia melayang-layang dengan bulu putih, di pingganggnya terlilit kain kotak-kotak. Menyadari siapa yang datang, para monyet itu serentak menjatuhkan diri.
      ''Datuk Hanoman...'' lirih mereka bersamaan.
      Untuk beberapa saat sosok monyet putih yang melayang-layang di udara itu diam. Hanoman memperhatikan monyet-monyet bersujud itu dengan tatapan kasihan.
      Barulah sekitar lima menit, ia membuka suara; ''Gerangan apa yang terjadi pada kalian, cucu-cucuku?''
      ''Maafkan jika kami mengusik istirahat Datuk. Sungguh kami tak bermaksud begitu. Maafkan kami, Datuk...'' ujar seekor monyet besar yang sedari tadi memotori gerakan.
      Bukan menimpali, Hanoman malah menegakkan tubuh monyet besar itu dengan kedua tangannya yang berbulu putih. ''Ceritakan, cucuku.''
Lalu berceritalah monyet besar itu tentang semua keluhan monyet-monyet dunia kepada Hanoman seperti aliran larva. Lambat tapi panas! Hanoman menanggapi dengan manggut-manggut sembari melipat tangan di depan dada.
      ''Begitulah kira-kira Datuk Agung.'' Monyet besar itu mengakhiri pengaduannya.
      ''Baiklah cucu-cucuku, aku memahami.'' Hanoman berkata lembut. Lembut sekali sampai-sampai suara desingan angin dan desahan napas dari balik pintu itu berkejar-kejaran menuju telinga semua yang ada dalam ruangan.
      ''Aku mengerti. Kalian merasa selalu di posisi yang salah dan disalahkan. Tindak tanduk kalian diamati dan dicemoohkan. Segala permasalahan hampir selalu dikaitkan dengan kalian para hewan primata.''
Untuk sejenak Hanoman membenarkan letak terbangnya. Ia melayang lebih dekat ke kelompok monyet-monyet yang tengah tertunduk mahsyuk itu.
      ''Hal itu membuat kalian kesal. Kalian marah. Kalian muak. Kalian lalu berontak. Dan kalian membuat aku terbangun dari negeri Suralaya.''
''Sepantasnya kalian tidak berlaku seperti ini, cucu-cucuku. Karena perlu kalian renungkan, keberadaan kalian di bumi ini untuk masalah dan pemecahannya. Dan kalian amatlah agung di mata orang-orang pintar. Seperti aku yang dijadikan simbol arif dan digjaya, seperti Darwin yang meletakkan kalian sebagai asal muasal manusia, seperti acara-acara lawak televisi yang menampilkan kalian sebagai pusat lelucon. Sebab melucu bukanlah perkara sepele buat orang bodoh, dan hanya orang berakal lebih bisa berhasil melucu. Kalian lihat acara The World Funniest-nya Amerika, Spontan-nya Indonesia, kedua acara ini selalu mengandalkan kalian sebagai sumber kelucuan.''
      ''Hm. Perlu kalian tahu sedikit rahasia Negeri Para Dewa, Suralaya, sekarang juga punya tv. Bahkan chanelnya amat banyak. Mulai dari bumi, Mars, Yupiter, sampai tata surya selain matahari juga kami terima. Makanya jangan terkejut kalau aku sampai tahu The World Funniest atau Spontan bahkan Wordl Cup 2002 nanti. Dan semua itu karena kami tak mau disebut 'gatek'.'' Hanoman berkata sambil senyum-senyum simpul, sementara ada hentakan sedikit dalam dada para monyet itu. Tapi, mereka terlalu takut untuk tertawa.
      ''Kembali serius.'' Hanoman menegangkan lagi suaranya. ''Itu bukan berarti mencrmoohkan kalian. Bukan. Bukan itu. Malah hal itu membuat posisi kalian di atas rata-rata mahluk lain. Menjadi pusat perhatian, mejadi pusat penelitian, menjadi saksi sejarah, menjadi lambang kepintaran, menjadi pencetus penyakit terdahsyat abad ini. Kalianlah semua kemegahan ini, kalianlah permata tak bernilai ini. Dan itu sepatutnya kalian syukuri.''
      ''Andai saja kalian mengizinkan diri untuk merenung, kalian akan menemukan kebenaran dari kata-kataku barusan. Dan kalian tak akan membuat keonaran seperti sekarang ini. Cobalah sekali lagi mengalah. Mengalah untuk sebuah nilai-nilai kebenaran meski kalian berada di balik dindingnya. Kalian adalah pahlawan. Sekali lagi pahlawan kebenaran. Oi, alangkah mulianya itu.''
      Hanoman tersenyum arif. Ia memandangi wajah monyet-monyet yang berada di bawahnya satu persatu. Dan ia menemukan ketenangan di sana. Di mata mereka, di hati mereka dan di sikap mereka.
      ''Satu lagi. Akan halnya HIV/AIDS yang kalian tularkan pada manusia, adalah tombak. Tombak yang jika dipahami benar-benar akan menyelamatkan kehidupan manusia. Sebaliknya jika diremehkan dapat menghancurkan manusia. Sebab kalian menurunkan sebuah virus mematikan yang permulaannya ditularkan melalui nafsu birahi, kemudian menyebar melalui cara-cara lain hingga tujuan penciptaan virus itu sebenarnya menjadi kabur. Orang-orang lupa untuk waspada. Sebenarnya kewaspadaan berhubungan itulah yang ingin ditekankan buyut-buyut kalian, para simpanse terhadap manusia.''
      Monyet-monyet itu mengangguk-angguk mengerti. Namun tak satupun berani bersentuh tatap dengan Hanoman.
Lagi-lagi dengan senyum arif Hanoman melanjutkan; ''Aku tekankan sekali lagi cucu-cucuku. HIV dicipta untuk membatasi sikap menyimpang manusia.       Dengan itu manusia hendaknya bisa lebih menjaga perilaku dan norma-norma kemanusiaannya. Bukan berlaku seperti binatang. Namun coba lihat fenomenanya sekarang, bahkan dengan adanya HIV/AIDS saja mereka masih berani melakukan tindakan-tindakan menjurus tingkah polah binatang. Melacurkan diri pada nafsu dan menebar birahi sembarang tempat, sembarang orang. Bayangkan kalau tidak ada HIV/AIDS. Tentu akan lebih parah.''
      Kata-kata Hanoman ditebari wangi cendana, memenuhi ruang hati monyet-monyet itu. Hingga mereka merasa damai... Damai... Dan damai.
''Itu saja yang aku bisa tanamkan pada diri kalian, cucu-cucuku. Semoga bisa tumbuh dan mekar bersama kesadaran dan keikhlasan pada diri kalian. Dan semoga kalian bisa lebih menerima kenyataan dengan hati lapang sebagaimana tugas tambahan hidup kalian.'' Hanoman menitikkan kalimatnya, kemudian terbang agak meninggi.
      ''Selamat tinggal, cucu-cucuku. Lain waktu akan kukalungkan medali penghargaan atas keikhlasan kalian menjalani hidup ini... Sampai jumpa...''
Hanoman terbang menembus dek putih rumah besar Prof Juan itu. Untuk terus terbang membelah awan sampai tinggal sebuah titik putih di langit biru. Sementara wangi cendana yang ia tinggalkan masih menetap di dalam ruangan, juga hati monyet-monyet itu.
      Dan seperti diperintah saja, mereka, monyet-monyet itu beranjak menuju ruang labor tempat semula mereka beraksi. Sesampai di dalam labor, seekor demi seekor mereka menuju sangkar masing-masing. Mengunci gembok sangkar sendiri, untuk kemudian duduk termenung di kandang berjeruji besi itu.
      Sampai sebuah teriakan melengking dari luar. ''Randa! Randaaa! Kesini kau. Apa yang kau perbuat pada ruangan ini, ha! Apa kau sudah gila.''
      Suara pintu di dobrak paksa menyambung teriakan Prof. Juan. Lalu disusul tamparan demi tamparan pada kulit. Mmm, kulit muka barangkali. Entahlah, yang jelas monyet-monyet itu sama sekali tak lagi peduli. Mereka merasa damai dengan wejangan yang diberikan Hanoman tadi. Hingga hati mereka dipenuhi wangi cendana dan bibit-bibit keikhlasan. Dan ketenangan ini, keikhlasan ini, kedamaian ini, membuat kenyamanan luar biasa yang mereka rasakan sampai mata mereka menjadi berat... Berat... Lalu mereka tertidur.
      Mereka terus terlelap dalam kedamaian hingga malam mengangkangi siang. Barulah mereka terjaga ketika suara lengkingan keluar dari seekor rekan mereka. Lalu ramai-ramai mereka menyaksikan pertunjukan sadis di bawah lampu samping ranjang pasien. Di sana, tampak seekor monyet telentang tanpa daya sedikitpun. Agaknya ia telah di bius. Dan di sebelahnya Prof Juan tengah sibuk memasang sarung tangan plastik.
      Selanjutnya monyet-monyet semakin marah sambil mengeluarkan teriakan-teriakan histeris tatkala tangan-tangan Prof Juan dengan cekatan memainkan gunting bedah. Dan kemarahan yang mereka rasa menghancurkan bibit yang tadi siang baru ditanamkan Hanoman. Segala keikhlasan. Segala kedamaian. Segala itu ditelan kemarahan. Kemarahan luar biasa!
      Sewajarnya saja, sebuah kesabaran dan keikhlasan memiliki garis batas yang pasti putus juga. Hanya jiwa-jiwa rendah yang tidak geram melihat rekannya diambang kematian! Sekalipun kematian itu demi pemenuhan sains. Karena sains boleh ditolerir. Kenyataan boleh diterima dan harus diterima dengan tulus. Tetapi untuk nilai-nilai persahabatan, itu tidak bisa diukur oleh satuan ukur manapun. Termasuk semua yang tertera dalam kitab kehidupan.
      Maka dengan serentak, mereka, monyet-monyet itu menarik keluar kunci cadangan yang diselipkan di antara bulu punggung. Lalu membuka sendiri kandang berbentuk terali itu. Setelah lepas, mereka beramai-ramai memburu Prof Juan yang nyaris membelah tubuh pasiennya. Dan betapa terkejut Prof Juan mendapati monyet-monyet yang ia sangkarkan bisa lepas dan kini tengah menyerbunya!
      Tapi kasib, ia telah menjadi bulan-bulanan monyet-monyet marah itu. Secepat kilat tubuh Prof Juan penuh darah ketika gunting, jarum suntik, neraca, tabung oksigen, menghantam tubuh, dan kepala, dan mata, dan kaki, dan jantungnya. Prof Juan tewas menggenaskan. Sementara monyet yang hampir menuju kematian tadi telah berhasil diselamatkan rekannya.
      Alhasil kemarahan monyet-monyet itu tak bisa ditahan lagi. Mereka melampiaskan kemarahan kepada seisi rumah termasuk Randa, isteri Prof Juan, juga tiga pembantu lenyap dalam kematian malam.
Cepat saja para monyet menguasai rumah Prof Juan. Lalu kebun binatang, pusat pemerintahan dari pejabat rendah hingga pejabat teras habis dilabrak monyet-monyet marah itu. Sekolah-sekolah. Rumah sakit. Pasar. Hingga dunia dipenuhi monyet.
      Sekarang semua rumah, kantor pemerintahan, kantor pertahanan, pasar, proyek, semua ditanami pohon pisang oleh monyet-monyet itu. Tentu saja untuk kebutuhan mereka.
      Dunia mulai tumbuh bulu-bulu, tidak ada lagi kulit hitam, kulit putih, kulit mulus, kulit mengkilat, kulit berminyak. Yang ada hanya bulu. Bulu-bulu para monyet.
      Sementara dari balik awah gelap, sebentuk tubuh menyerupai manusia tapi setengah kera memperhatikan pergolakan itu. ''Fiuh. Biarlah begitu. Sebaiknya monyet menguasai dunia ketimbang HIV/AIDS,'' lenguh Hanoman pelan. Ia kemudian terbang kembali menyusuri langit menuju Suralaya.***

Jambi, Februari 2002