"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Tanpa Tanda Kutip

Cerpen: Monas Junior

      Sahabat. Kau pasti mengenal ia karena kecocokannya denganmu. Tapi percayalah, ada banyak persahabatan yang hidup gara-gara ketidakcocokan. Bagaimana pula itu? Ah, kau tak akan mengerti kalau belum kuceritakan tentang Iwan.
       Ia, sahabatku. Dilahirkan pertengahan bulan merah, saat mentari masih tersisa di bibir malam. Dan birunya langit belum pudar benar. Dua orang saudaranya, tiga sepupunya, dan empat ibunya. Nah, begitulah.
       Iwan kecil tak jauh beda dengan anak lain, tapi Iwan besar, yang ketika berusia 20 tahun bertemu denganku, sangat berbeda. Kurasa tak pernah bersahabat aku, jika kampus, dan kelas, dan kost-an, dan nasib, dan usia, tidak sama dengannya. Sebab ketidakcocokan kami amatlah jelas. Salah satu yang paling mencolok, ialah kelainan sikapnya terhadap tanda kutip!
       Saking lainnya ia terhadap tanda kutip, jangan harap sebuah naskah yang ia baca bisa tersisa se-kutippun di atas kertas itu. Sebab ia dengan anehnya telah mencabut lalu memasukkan ke saku baju. Kemudian sampai di kost, disimpan di laci meja belajar kami.
       Semisal naskah skenario, berapa tanda kutip yang ditempatkan untuk memenuhi kriteria dialogisnya? Dua kutip pembuka, ditambah dua kutip penutup. Nah, kalau Iwan yang baca, dijamin halal tak bersisa sekutippun! Lalu skenario tersebut benar-benar gundul tanda kutip. Paling yang tinggal hanya; kurung, tanda seru, tanda tanya, koma, titik, titik koma, titik dua. Benar-benar tanpa tanda kutip. Bayangkan saja sebuah dialog tanpa empat tanda kutip, sudah pasti mengherankan, kan?
       Demikianlah kelakuan sobat anehku, itu. Begitu terus hingga aku dan dia menyelesaikan urusan akademisi di kampus. Dan sepanjang waktu itu, adalah hari-hari berat buat aku menyimpan keingintahuan tentang kebiasan anehnya; mengoleksi tanda kutip. Kau tahu, sekarang kamar kost yang akan kutinggalkan, telah sembilan puluh persen di dijejali tanda kutip dari berbagai sumber. Alangkah!
       Maka itu kuputuskan untuk hari ini menanyakan kepada ia, akan kebiasan anehnya itu. Ya, sudah kupikirkan sematang-matangnya. Percayalah, aku akan memuaskan kalian semua dengan membukakan rahasia antipatinya terhadap tanda kutip. Bersabarlah.
       Lihat ia datang. Wajahnya seperti lima tahun lalu kali pertama bertemu, tanpa ekspresi. Tergesa-gesa ia tarik beberapa kardus kosong ke kamar, dan acuh saja membiarkan kardus itu berdampingan dengan berdiriku. Sial, susah sekali aku menjelaskan kepadanya tentang keberadaanku di sini. Ia seolah tak melihatku. Tapi, baiklah. Kutunggu saja ia yang keluar dari ruangan ini kembali. Semenit, benar ia sudah masuk lagi dengan menyeret kardus bekas bungkus televisi 17 inci. Kemudian, lagi-lagi mendampinginya dengan berdiriku. Selanjutnya keluar lagi. Kali ini kujejeri dia.
      Sambil menggapai langkah aku lempar tanya mengenai, mmm, itu, kebiasan dia, yang kita semua tahu; menghilangkan tanda kutip.
       Ia rem langkah, ditatapnya aku, lalu… tertawa! Aku membisu heran. Renyah sangat tawanya. Sampai setengah jam lebih, barulah dihentikannya tawa itu. Dan berbisik kepadaku; suatu saat entah tersebab apa, aku pasti memerlukan banyak tanda kutip. Makanya dari sekarang kutabung.
       Kukejar lagi; buat apa? Aku hadang langkahnya. Ia berhenti, dan menjawab; buat mensopankan kalimat, mengaburkan makna, melahirkan ambigu, apalagi melindungi sponsorship, wah amat perlu tanda kutip dengan karakter khusus itu. Jadi, salahkah jika kutabung sebanyak mungkin tanda kutip? Salahkah?
       Aku bingung. Dia tersenyum santai, lalu berlalu luwes.***

Jambi, April 2003

(Jika diperhatikan, dialog naskah ini tak menggunakan tanda kutip. Sebab itu maafkan saya yang takut jika Iwan membaca karya ini. Kau pasti tahu kenapa.)